Al-Sunnah adalah sumber hukum
Islam yang kedua, salah satu kajian yang penting untuk dipelajari lebih
mendalam.
PENGERTIAN AL-SUNNAH
Al-Sunnah secara etimologi
berarti:
الطريقة المسثقيمة و السيرة المستمرة
حسنة كانت او سيئة
“Jalan yang lurus dan
berkesinambungan yang baik atau yang buruk”
Secara terminologis, para ulama
berbeda pendapat dalam memberikan al-Sunnah sesuai dengan perbedaan dengan
keahlian masing-masing. Para ulama Hadits mengatakan bahwa al-Sunnah adalah:
“Setiap apa yang ditinggalkan
(diterima) dari Rasul saw berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, akhlak atau
kehidupan, baik sebelum beliau diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya,
seperti tahanuts (berdiam diri) yang dilakukan di gua Hira atau sesudah kerasulan
beliau”
Para ulama Hadits memberikan
pengertian yang luas terhadap al-Sunnah disebabkan pandangan mereka terhadap
Nabi Muhammad saw sebagai contoh yang baik bagi umat manusia, bukan sebagai
sumber hukum. Oleh karena itu, ulama Hadits menerima dan meriwayatkan al-Sunnah
secara utuh atas segala berita yang diterima tentang diri Nabi saw tanpa
membedakan apa-yang diberitakan itu-isinya berkaitan dengan penetapan hukum
syara ataupun tidak, juga menyebutkan bahwa perbuatan yang dilakukan Nabi
sebelum atau sesudah beliau diangkat menjadi Rasul sebagai Sunnah.
Sedangkan ulama ushul fiqh
menjadikan al-Sunnah secara terminology yaitu:
“Setiap yang datang dari Rasul
saw selain al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan yang
dapat dijadikan sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’”.
Melalui definisi diatas dapat
disimpulakn bahwa segala sifat, prilaku, dan segalanya yang bersumber dari Nabi
saw dan tidak ada relevansinya dengan hukum syara’ tidak dapat dijadikan
sebagai al-Sunnah. Karenanya, jumlah al-Sunnah dalam pandangan ulama ushul
sangat terbatas.
Adapu ulama ushul fiqh Syi’ah
menganggap bahwa al-Sunnah berarti ucapan, tindakan, ketatapan Nabi saw dan
para imam. Merujuk kepada Hadits versi mereka: “Aku tinggalkan setelah
kepergianku dua hal yang amat berharga kepada kalian untuk merujuk dan Allah
melarangmu jika kalian tidak merujuk kepadanya yaitu Kitab Allah dan Ahlul
baitku”.
Sunnah dikalangan dilakalangan
Syi’ah bukan hanya dari Rasul (al-Hadits al-nabawi) juga berasal dari 12 imam
mereka (al-Hadits al malawi). Seperti diungkapkan oleh imam ke 6 mereka, Ja’far
al-Shadiq:
“Hadistku adalah Hadits ayahku
(Muhammad bin al-Baqir) dan Hadits ayahku adalah Hadits kakekku (Ali ibn Husein
ibn Ali ibn Abi Thalib), dan Hadits kakekku adalah Hadits Husein (Husein ibn
Ali ibn Abi Thalib) dan Hadits Husein adalah Hadits Hasan (Hasan ibn Abi
Thalib) dan Hadits Hasan adalah Hadits Amirul Mukminin (Ali ibn Abi Thalib) dan
Hadits Amirul Mukminin adalah Hadits rasulullah saw, dan Hadits Rasuullah saw
pada hakikatnya berasal dari Allah swt”.
Adapun istilah al-Sunnah
seringkali diidentikkan dengan Hadits, Khabar dan Atsar.
PENGERTIAN AL-HADITS
Hadits secara etimologi berarti الجديد (sesuatu
yang baru), الخبر(kabar, berita atau cerita), الكلام (perkataan).
Sama dengan al-Sunnah, pengertian
al-Hadits secara terminology dijelaskan oleh para ulama dengan redaksi yang
berbeda-beda. Menurut ulama Hadits, Hadits adalah: “Segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan maupun
sifatnya”.
Sementara ulama ushul fiqh
mengatakan bahwa Hadits adalah: “meliputi perkataan, perbuatan dan ketetapan
Nabi saw yang dapat dijadikan dalil dalam menentukan hukum syara’”.
Dalam pandangan ulama ushul fiqh,
segala sesuatu yang berasal dari Nabi saw tapi bukan berkaitan dengan hukum,
seperti makan, tidur dan berpakaian tidak dianggap sebagai Hadits.
PENGERTIAN AL-KHABAR
Secara etimologi khabar berarti النباء (berita), yaitu segala berita yang diberikan kepada orang lain.
Sedangkan pengertian khabar
secara terminology, khabar terbagi kedalam tiga pendapat, yaitu:
1.
Khabar adalah sinonim dengan Hadits, keduanya dapat digunakan untuk sesuatu
yang marfu’ mauquf dan maqhthu’, mencakup segala sesuatu yang datang dari Nabi
saw, sahabat dan tabi’in.
2.
Khabar berbeda dengan Hadits, khabar adalah berita dari selain Nabi saw,
sementara Hadits adalah sesuatu yang datang dari Nabi saw. Sehingga yang
berkecimpung dalam kegiatan sejarah dan sejenisnya disebut akhbari, sedangkan
seorang ahli Hadits disebut Muhaddits.
3.
Khabar lebih umum daripada Hadits, setiap khabar dapat dikatakan Hadits tetapi
tidak setiap khabar, tapi tidak setiap khabar dikatakan Hadits.
Kegiatan yang trjado dalam
masalah khabar pasti terjadi dalam masalah Hadits, tetapi tidak semua yang ada
dalam khabar terdapat dalam Hadits.
PENGERTIAN AL-ATSAR
Secara etimologi, al-Atsar
berarti sisa atau peninggalan sesuatu. Secara terminology, atsar terbagi
kedalam dua pendapat:
Atsar adalah sinonim dengan
Hadits yaitu segala sesuatu yang berasal dari Nabi saw
Atsar adalah sesuatu yang yang
disandarkan kepada sahabat dan tabi’in yang terdiri atas perbuatan.
Jumhur ulama berpendapat bahwa
khabar dan atsar untuk segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, Sahabat dan
Tabi’in. Sedangkan ulama Khurasan berpendapat bahwa atsar untuk yang mauquf
(berita yang disandarkan kepada sahabat) dan khabar untuk yang marfu’ (sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi saw).
MACAM-MACAM DAN PEMBAGIAN
AL-SUNNAH
Macam-macam al-Sunnah dilihat
dari Segi bentuknya
Al-Sunnah jika dilihat dari segi
bentuknya terdapat tiga perkara, yaitu:
1.
Sunnah qauliyah, yaitu Hadits-Hadits yang diucapkan langsung oleh Nabi saw
dalam berbagai kesempatan terhadap berbagai masalah yang kemudian dinukil oleh
para sahabat dalam bentuknya yang utuh sebagaimana diucapkan oleh Nabi saw.
Diantara contohnya yaitu Hadits dari Anas bin Malik
bahwa rasulullah saw bersabda:
سووا صفوفكم فإن تسوية الصف من تمام
الصلاة (رواه مسلم)
“Hendaklah kamu meluruskan shaf
(barisan) mu, karena sesungguhnya shaf yang lurus itu termasuk dari
kesempurnaan shalat” (H. R. Muslim)
2.
Sunnah Fi’liyah, yaitu Hadits-Hadits yang berkaitan dengan perbuatan yang
dilakukan oleh Nabi saw yang dilihat atau diketahui para sahabat, kemudian
disampaikan kepada orang lain.
Dalam masalah ini, para ulama
ushul fiqh membahas secara mendalam tentang kedudukan Sunnah fi’liyah.
Masalah yang dikemukakan adalah: Apakah seluruh perbuatan Rasulullah saw wajib
diikuti umatnya atau tidak. Ulama ushul fiqh membaginya kepada:
a.
Perbuatan yang dilakukan Nabi saw sebagai manusia biasa, seperti makan, minum,
duduk, berpakaian, memelihara jenggot dan sebagainya. Perbuatan seperti ini
tidak termasuk sunnah yang wajib diikuti oleh umatnya. Hal ini dikarenakan
perbuatan Nabi sebagai manusia biasa.
b.
Perbuatan yang dikerjakan Rasul saw yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut
khusus untuk dirinya, seperti melakukan shalat tahajjud setiap malam, menikahi
perempuan lebih dari empat atau menerima sedekah dari orang lain. Perbuatan
seperti ini adalah khusus untuk diri Rasul dan tidak wajib diikuti.
c.
Perbuatan yang berkenaan dengan hukum dan ada alasannya, yaitu, sunnat, haram,
makruh dan mubah. Perbuatan seperti ini menjadi syari’at bagi umat Islam.
3.
Sunnah Taqririyah, yaitu Hadits yang berupa ketetapan Nabi saw terhadap apa
yang datang atau yang dilakukan sahabatnya. Nabi saw membiarkan atau mendiamkan
suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya tanpa memberikan penegasan
apakah beliau bersikap membenarkan atau mempermasalahkannya.
Macam-macam al-Sunnah jika
dilihat dari Segi Kualitas Rawinya
Al-Sunnah jika ditinjau dari segi
periwayatannya, para ulama ushul fiqh membaginya menjadi dua macam, yaitu:
1.
Sunnah yang bersambung mata rantai perawinya
2.
Sunnah yang tidak bersambung mata rantai perawinya
Sunnah yang bersambung mata
rantai perawinya terbagi kepada tiga macam:
1. Sunnah Mutawattir
Sunnah mutawattir adalah adalah
sunnah yang diriwayatkan oleh rawi yang jumlahnya banyak dan diyakini mustahila
adanya kebohongan. Penukilan sunnah mutawattir dengan jumlah perawi yang banyak
yang terdiri dari 3 generasi, yaitu generasi sahabat, tabi’in dan tabi
al-tabi’in.
Jumhur ulama sepakat bahwa sunnah
mutawattir adalah hujjah setelah al-Qur’an. Ditinjau dari segi bentuknya, para
ulama ushul membagi sunnah mutawattir menjadi dua macam, yaitu:
Pertama; mutawattir lafzhi, yaitu
sunnah yang diriwayatkan oleh banyak orang, susunan redaksi dan maknanya sesuai
antara riwayat dengan yang lainnya. Contohnya:
من كذب على متعمدا فليتبوأ مقعده من
النار ( رواه البخارى و المسلم )
“Barang siapa berdusta dengan
sengaja terhadapku, maka hendaklah ia mengambil tempat dalam neraka.” (HR.
Bukhori dan Muslim)
Hadits diatas diriwayatkan oleh
40 orang sahabat bahkan lebih.
Kedua; mutawattir maknawi, yaitu
Hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang berlainan lafal (redaksi)
tetapi memiliki persamaan dalam maknanya.
Contohnya:
انه كان يرفع يديه فى الدعاء
Terdapat pula lafal yang berbeda
tetapi maknanya sama:
وهو رفع اليد عند الدعاء
2. Sunnah Masyhur
Sunnah masyhur adalah sunnah yang
diriwayatkan dari Nabi saw oleh dua orang atau lebih tetapi tidak mencapai
tingkat mutawattir. Kemudian Hadits ini tersebar pada generasi kedua (tabi’in)
dan generasi ketiga (tabi al-tabi’in).
Sunnah masyhur pada mulanya
berawal dari sunnah ahad, kemudian tersebar dikalangan orang banyak dan terjadi
pada generasi tabi’in dan tabi’ al-tabi’in. Menurut Hanafiyah, Hadits masyhur berada dibawah
sunnah mutawattir dan berfungsi memperkuat ayat al-Qur’an.
3.Sunnah Ahad
Sunnah ahad adalah sunnah yang
jumlah perawinya tidak sampai kepada jumlah mutawattir, baik perawi itu satu,
dua, tiga atau lebih, namun tidak memberikan pengertian jika bilangan tersebut
masuk kedalam jumlah mutawattir.
Ketiga imam madzhab (Abu Hanifah,
Syafi’i dan Ahmad) menerima Hadits ahad jika dianggap memenuhi syarat-syarat
periwayatan yang sahih. Namun Abu Hafifah disamping meriwayatkan perawi harus
tsiqah dan adil, juga perawi tidak melakukan sesuatu yang berlawanan dengan isi
Hadits yang diceritakannya.
Sementara, sunnah yang tidak
bersambung jumlah perawinya kepada Nabi Muhammad saw dinamakan Hadits mursal.
Hadits mursal adalah Hadits yang salah seorang perawinya tidak disebutkan.
Ulama yang lain menyebutnya dengan Hadits munqhathi’ (terputus).
Para ulama berbeda pendapat dalam
pemakaian Hadits mursal. Imam Ahmad tidak memakai Hadits mursal kecuali jika
pada kasus tersebut tidak disebutkan Hadits lain. Menurutnya, Hadits mursal
seperti Hadits dhaif (lemah) dan tidak memakainya kecuali dalam keadaan
dharurat saja.[26] Sementara Imam Syafi’i menetapkan beberapa syarat
dalam menerima dan tidak menolaknya secara mutlak. Syarat-syarat tersebut:
1. Hadits mursal itu diperkuat dengan Hadits musnad yang bersambung sanadnya dari
segi makna. Dalam keadaan seperti ini yang diambil sebagai hujjah adalah Hadits
musnad, bukan Hadits mursalnya.
2. Hadits mursal itu diperkuat dengan Hadits mursal yang lain. Dengan demikian
keduanya saling menguatkan
3. Hadits mursal itu sesuai dengan perkataan sahabat, maka hal itu sama artinya
dengan mengangkat status Hadits mursal menjadi marfu’
4. Apabila kalangan ulama telah menerima Hadits mursal itu dan segolongan dari
mereka mengeluarkan fatwa seperti yang terkandung dalam Hadits itu.
Sedangkan Imam Malik dan Abu
Hanifah menerima Hadits mursal secara mutlak. Menurut keduanya, Hadits mursal
ini sederajat dengan Hadits musnad. Keduanya tidak hanya menerima Hadits mursal
tabi’in saja, yaitu Hadits yang tidak disebutkan perawi sahabat, tetapi
keduanya menerima Hadits mursal tabi al-tabi’in, yaitu Hadits yang tidak
disebutkan perawi tabi’in dan sahabat. Ini disebabkan karena riwayat kedua imam
ini berasal langsung dari tabi’in dan tabi al-tabi’in. Bagi keduanya yang
terpenting adalah tingkat kepercayaan dari orang yang meriwayatkannya.
KEHUJAHAN AL-QUR’AN
Jumhur ulama ushul fiqh sepakat
bahwa sunnah mutawattir, masyhur dan ahad adalah sumber istinbath hukum Islam
jika tidak ditemukan dalam Hadits. Dari ketiga bentuk Hadits diatas para ulama
berbeda pendapat dalam menentukan kehujahan Hadits ahad.
Imam Syafi’i misalnya, beliau
tidak menempatkan Hadits ahad setingkat dengan al-Qur’an atau Hadits
mutawattir, karena al-Qur’an dan Hadits mutawattir adalah qathi al-wurud
sedangkan Hadits ahad adalah zhonni al-wurud. Imam Syafi’i memberikan
syarat-syarat ketat dalam menjadikan Hadits ahad sebagai hujjah dalam
menentukan hukum Islam. Syarat-syarat tersebut diantaranya:
1.
Rawi adalah orang yang dapat dipercaya atau adil.
2.
Rawi adalah orang yang berakal
3.
Rawi adalah orang yang kuat hapalannya
4.
Hadits yang diriwayatkannya tidak berbeda dengan Hadits yang diriwayatkan oleh
orang lain yang lebih dipercaya.
Ulama Hanafiyah menerima Hadits
ahad dengan syarat:
1.
Hadits ahad diterima jika terkait dengan berbagai peristiwa
2.
Hadits ahad tidak bertentangan dengan qiyas, ushul dan kaidah-kaidah yang
terdapat dalam syari’at
3.
Perawi ahad tidak menyalahi ahadnya.
Ulama Malikiyah menerima Hadits
ahad jika tidak bertentangan dengan amal ahli madinah.
Sikap mendahulukan amal ahli Madinah daripada Hadits
ahad disebabkan oleh tradisi hidup Nabi Muhammad saw telah menjadi sikap hidup
penduduk Madinah dan secara factual dijadikan sebagai landasan menetapkan
hukum.
Sementara kedudukan al-Sunnah
terhadap al-Qur’an, para ulama ushul fiqh mengelompokkannya kedalam tiga
bagian:
1.
Al-Sunnah berfungsi memperkuat apa yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an, tidak
menjelaskan apalagi menambahkan ketetapan al-Qur’an.
2.
Al-Sunnah berfungsi memperjelas dan merinci apa yang telah digariskan dalam
al-Qur’an. Seperti Hadits-Hadits yang berhubungan dengan tata cara salat, puasa
dan sebagainya.
3.
Al-Sunnah berfungsi menetapkan hukum yang belum ditentukan dalam al-Qur’an.
Semoga bermanfaat